Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

Nahkoda dan Kontrol Bahasa Pada Kemudi Bajingan

Sabtu, 2 Agustus 2025 10:12 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pinterest 30 ide Profesi lesson | kegiatan untuk anak, profesi, taman kanak kanak
Iklan

Bahasa, seperti kapal yang mengarungi lautan makna, memerlukan nahkoda — sosok yang menentukan arah, ritme, dan tujuan navigasi komunikasi.

Bahasa, seperti kapal yang mengarungi lautan makna, memerlukan nahkoda — sosok yang menentukan arah, ritme, dan tujuan navigasi komunikasi. Namun dalam realitas sosial-budaya kita, sang nahkoda bahasa sering kali bukan individu, melainkan sistem kekuasaan: norma, sejarah, kelas sosial, dan ideologi.

Dalam kerangka inilah kita merenungkan figur “bajingan” — dulunya sekadar kusir gerobak sapi — yang secara semantis menjelma menjadi kata makian. Sebuah pergeseran makna yang tak hanya linguistik, melainkan juga epistemologis dan politis. Siapa sebenarnya yang duduk di balik kemudi bahasa? Dan bagaimana kita — para pemakai bahasa — dikemudikan oleh makna yang telah ditentukan oleh kekuasaan simbolik?

Bajingan: Dari Pengemudi ke Simbol Kekacauan

 KaryaPelaut.com Pengertian dan Jenis Sistem Kemudi Kapal - KaryaPelaut.com

Secara historis, “bajingan” adalah profesi: pengendara pedati atau gerobak pengangkut barang, terutama di wilayah pedesaan Jawa. Ia adalah “pengemudi” dalam pengertian literal. Namun dalam struktur sosial feodal, posisi ini bukan hanya marginal, tetapi juga diasosiasikan dengan kebebasan yang dianggap liar dan tak terkendali. Mobilitas bajingan — melintasi desa ke desa, membawa barang, bertemu siapa saja — dianggap mengancam tatanan yang menghendaki stabilitas.

Dari sinilah bahasa mulai bekerja: menciptakan stigma terhadap mobilitas, terhadap yang tak diam. Bajingan menjadi metafora sosial tentang pelanggaran disiplin. Dan ketika makna itu mengeras, ia berubah menjadi makian: “bajingan!” — sebuah kata yang tidak lagi menunjuk pada profesi, tetapi pada kelakuan, moral, bahkan watak.

Nahkoda yang Tak Terlihat: Bahasa yang Mengemudi Kita

Kenapa Sopir Gerobak Sapi disebut ITU? – Yudho Yudhanto – Artikel Publikasi, Buku, Seminar, Teknologi dan Download Gratis

Kita sering menyangka bahwa kitalah yang mengendalikan bahasa, padahal seringkali bahasa-lah yang mengendalikan kita. Inilah yang disebut Michel Foucault sebagai “dispositif diskursif” — yaitu sistem pengetahuan dan kekuasaan yang mengatur cara kita berpikir, berbicara, dan memahami. Dalam hal ini, “bajingan” bukan hanya kata, tetapi bagian dari alat kontrol sosial. Ia menjadi “alarm moral” — menyatakan bahwa seseorang telah keluar dari norma.

Namun siapa yang menentukan norma itu? Siapa yang duduk di belakang kemudi makna, dan mengarahkan bahasa ke jalur tertentu? Di sinilah konsep “nahkoda bahasa” menjadi penting. Ia bisa berupa institusi (seperti negara, agama, pendidikan), bisa pula berupa budaya dominan yang membentuk cara kolektif memandang dunia. Ketika “bajingan” mengalami degradasi makna, kita melihat bagaimana kendali semantik bekerja: mengubah kata kerja menjadi penilaian moral.

Bajingan yang Dituduh Mengemudi

Ironi besar terletak pada kenyataan bahwa bajingan, yang dahulu mengemudi secara literal, kini menjadi simbol ketidakteraturan, kehilangan arah, bahkan penghinaan. Padahal sejatinya, bajingan adalah metafora bagi perjalanan — bagi dinamika, mobilitas, dan kemungkinan berpindah. Dalam pandangan poskolonial, ini mencerminkan bagaimana bahasa dominan menindas kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam tatanan sosial. Bahasa dijadikan alat untuk mengikat, bukan untuk membebaskan.

Maka, ketika kita menyebut seseorang “bajingan”, kita sebetulnya sedang mereproduksi sistem makna yang menolak kemungkinan lain untuk hidup — kita mengemudi bukan sebagai nahkoda, tetapi sebagai penumpang yang tak sadar arah.

Menggugat Kemudi, Menemukan Arah Baru.

Dalam dunia yang terus bergerak, kontrol bahasa menjadi semacam kemudi yang menentukan arah moral dan sosial kita. Namun seperti bajingan yang dahulu mengemudi pedati, barangkali kita perlu kembali mengklaim posisi itu — menjadi pengemudi makna, bukan sekadar objek dari diskursus dominan. Kita perlu menjadi nahkoda bahasa: menggugat struktur, membuka kemungkinan baru, dan mengembalikan makna kepada ruang gerak yang manusiawi.

Karena bahasa bukan sekadar untuk menunjuk, tetapi untuk menavigasi: siapa yang kita maki, sesungguhnya menunjukkan ke arah mana kita sedang berjalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Parau

Senin, 1 September 2025 14:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler